Kamis, 04 Agustus 2011

WADUK SAGULING

Waduk Saguling adalah satu dari tiga waduk yang membendung aliran Sungai Citarum. Dua waduk lainnya yang membendung Sungai Citarum berturut-turut adalah Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur. Walaupun air Sungai Citarum pertama kali dibendung di waduk ini, pada kenyataannya, waduk ini terbangun terakhir setelah dua waduk lainnya. Waduk ini juga menjadi sorotan karena tingkat pencemarannya yang tinggi. Sehubungan dengan tingginya aktifitas warga desa di waduk mulai dari penggunaan air untuk minum, masak hingga mandi, cuci, kakus maka waduk ini kerapkali disorot karena pencemarannya. Memang, air waduk disaring terus menerus dari Saguling, ke Cirata hingga Jatiluhur. Alhasil, tingkat pencemaran terendah adalah Waduk Jatiluhur di Purwakarta. Waduk ini juga agak berbeda dengan dua waduk lainnya karena wilayah cakupannya yang berteluk-teluk.

Sukar mencari informasi wisata tentang Waduk Saguling di internet atau di buku. Akhirnya, saya sampai harus survey sendiri ke lokasi untuk mencari tahu lokasi wisata ini. Waduk Saguling sebenarnya memang merupakan area wisata. Di pintu gerbang masuk utamanya di Rajamandala ada plang bertuliskan “Objek Wisata Saguling” dengan detail :
- Pemandian Air Panas 7 KM
- Bumi Perkemahan 21 KM
- Bendungan 20 KM
- Wisma Sangkuriang Lengkap
- Sarana Olahraga

Jadi, mengapa objek wisata ini tidak terekspos sama sekali dari dunia luar? Kita lihat kelanjutan cerita ini.
Sekitar 1 kilometer perjalanan melewati rumah-rumah penduduk sekitar, sampailah saya di percabangan antara Kantor PLTA Saguling dan pintu masuk waduk. Di pintu masuk yang berpalang rendah, saya diberhentikan oleh satpam. Di pos satpam tersebut ada dua orang polisi yang sedang duduk. Saya ditanya perihal kepentingan saya memasuki areal bendungan. Saya jawab “jalan-jalan”. Kemudian beliau meminta saya menepikan mobil saya dan saya diminta masuk ke pos satpam tersebut. Di pos satpam tersebut, saya diminta menunjukkan KTP saya guna dicatat identitas dan kepentingannya. Selesai, tidak ada tiket masuk atau pembayaran apapun. KTP yang dipinjam hanya satu buah saja, tidak semua peserta diminta menunjukkan KTP-nya. Bahkan saya bisa bertanya-tanya detail akan objek wisata di dalam waduk yang akan saya kunjungi. Yang mengejutkan, beliau menjawab, jarak bendungan masih jauh. Kalau mau yang dekat, paling pemandian air panas saja. Selesai proses administrasi yang cenderung lebih menyerupai kunjungan ke kantor daripada objek wisata, saya kembali ke kendaraan dan memasuki wilayah Saguling.Ternyata, apa yang tertulis di plang dan dikatakan oleh pak satpam tersebut adalah benar. Bendungan masih jauh sekali dari pos satpam yang ada di depan Rajamandala. Saya jadi berpikir, mengapa tidak membangun akses yang lebih mudah saja? Yang jelas, 20 kilometer yang saya lalui ini tidaklah mulus. Ada sebagian jalan yang amblas sehingga hanya tersisa satu setengah ruas jalan saja, ada yang tertimbun longsoran tanah sehingga tersisa satu jalur saja, banyak yang bopeng dan bolong, dan keseluruhan, jalanan yang saya lalui mendaki dan menurun curam tanpa adanya terlihat penerangan di sisi jalan. Saya nggak yakin mau berkunjung ke Saguling selepas malam turun. Saya nggak melihat adanya satupun lampu penerangan jalan (walaupun kabel listrik terlihat beberapa kali melintas). Adalah ide yang sangat baik untuk pulang dari tempat ini sebelum malam tiba.
Hampir seluruh wilayah masuk menuju bendungan adalah wilayah perbukitan yang tertutup dengan hutan dan semak-semak. Desa hanya tersisa di sebagian kecil wilayah dekat pintu air. Warung-warung penjual makanan kecil terdapat satu dua buah sepanjang perjalanan ini. Sekitar 7 kilometer dari pintu masuk, anda akan bertemu percabangan yang menuju ke pemandian air panas. Sayang, saya nggak sempat berendam karena mengejar kunjungan ke pintu air. Jalanan sebelum pemandian banyak yang longsor dan amblas. Anda akan bertemu banyak menara tegangan tinggi aliran listrik disini. Sementara itu, jalanan selepas percabangan pemandian mulai mendaki curam. Objek wisata yang dapat anda nikmati adalah Curug Bedil, sebuah air terjun kecil yang terletak persis di tepi jalan pada sebuah belokan. Pada putaran sebelum sampai di air terjun mini ini, anda akan berjumpa dengan kaki Curug Bedil ini. Objek wisata berikutnya yang terletak agak ke atas lagi dimana anda bisa melihat pemandangan seluruh perbukitan yang tertutup kabut adalah Tangki Pendatar Air (Surge Tank) yang jelas-jelas bukan objek wisata alam. Namun, bangunan tinggi besar yang masif seperti ini di tengah-tengah hutan tentu menarik untuk dijadikan objek berfoto. Bentuk bangunan yang tidak lazim serta unik, sangat menarik minat saya untuk berfoto di tempat ini. Tepat di seberang tangki ini, pemandangan perbukitan sekeliling bisa terlihat dengan jelas kalau kabut tidak menghalangi. Yang jelas, posisi tangki ini sudah di bagian bukit yang agak tinggi sehingga pemandangan sekitar bisa terlihat dengan leluasa. Selepas tangki, barulah anda akan bertemu dengan tonggak pembatas antara kawasan operasional waduk dengan Desa Saguling, wilayah Batujajar. Disini, anda akan melihat kembali rumah-rumah penduduk, lapangan bola, bahkan sekolah. Tidak lama sesudahnya, anda akan melihat areal perkantoran bendungan dengan Waduk Saguling sebagai latar belakangnya. Yak, anda sudah sampai di Waduk Saguling. Yang menyenangkan, udara selama perjalanan sangat mendukung. Cuacanya sejuk dan bahkan cenderung mendung. Uniknya, beberapa kali saya bertemu dengan sepeda motor yang mengenakan jas hujan dimana jas hujan yang mereka kenakan betul-betul basah kuyub. Saya sampai bertanya-tanya, akankah kita melewati air terjun dengan kendaraan? Saya juga mengamati, pengunjung waduk ini lebih banyak sepeda motor dibanding mobil. Ini mungkin berkaitan juga dengan leluasanya mobilitas sepeda motor untuk keluar masuk wilayah ini (ada beberapa area yang dipalang namun motor bisa melewati celah di palang tersebut). Apabila saya warga lokal, pasti dech, saya akan mempertimbangkan untuk menggunakan sepeda motor. Pasti mengasyikkan!Waduk Saguling, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya adalah wilayah berteluk-teluk. Waduk di satu sisi belum tentu waduk lagi di sebelahnya. Saya sendiri akhirnya hanya bisa masuk ke dalam areal sebuah taman yang tampaknya dalam perbaikan. Dari taman ini, saya hanya bisa melihat sebagian kecil wilayah waduk karena terhalang oleh perbukitan dan pepohonan. Waduk, tentu ada di seberang perbukitan tersebut. Kurang leluasa sich intinya. Walaupun demikian, wajah waduk cukup dapat terlihat dari taman ini. Saya bisa melihat air waduk yang tenang beserta pintu airnya. Airnya ternyata cukup bersih dan tidak seperti yang saya bayangkan. Sayang, tidak seperti Jatiluhur dimana terdapat perahu-perahu di pantai waduk yang akan membawa wisatawan ke tengah waduk, Waduk Saguling benar-benar menyerupai sebuah waduk sejati, terutama dengan dinding beton di sekelilingnya. Tidak ada interaksi antara wisatawan dengan air waduk. Hujan yang turun (tampaknya sudah turun berkali-kali di sini) mengacaukan kunjungan saya. Akhirnya saya berteduh di sebuah gorong-gorong besar di tengah taman. Gorong-gorong berwarna kuning ini bentuknya menyerupai deretan tapal kuda yang disusun sehingga membentuk terowongan. Ternyata, benda yang tadinya saya kira gorong-gorong adalah sebuah monumen penghargaan untuk para pekerja yang meninggal dalam pembangunan waduk ini. Mereka yang meninggal dalam periode tahun 1980 – 1984 (masa pembangunan waduk) tercantum dalam batu prasasti yang ada di depan bangunan tapal kuda tersebut. Bangunan tapal kuda tersebut sebenarnya menarik untuk dijadikan objek foto-foto. Tadinya, saya malah berpikir ini bagian dari pipa bendungan atau bagian dari alat PLTA yang tidak digunakan. Sayangnya, hampir keseluruhan bangunan, prasasti dan bagian dari taman ini habis tercoret-coret oleh grafitti yang dicoret oleh tangan-tangan usil. Kesannya, taman dan bangunan ini jadi kumuh tak terawat. Bahkan, beberapa nama sudah pudar, terhalang oleh grafitti yang lebih mencolok warnanya tersebut. Sayangnya, saya tidak memiliki waktu banyak untuk menyesalinya karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore lewat 11 menit. Awan mendung berat tergantung di langit di atas saya. Sebaiknya saya bergegas kalau tidak ingin terjebak malam di tengah gunung. Suatu hal yang saya sangat hindari. Dalam perjalanan pulang dan kedatangan tadi, saya sempat mencoba untuk mematikan AC dan membuka kaca jendela lebar-lebar. Maksudnya agar mobil kuat menanjak dan udara segar pegunungan bisa membersihkan paru-paru saya. Yang jelas, saya akan kembali lagi suatu saat nanti ke Saguling. Berharap ada lebih banyak lagi titik yang dibuka untuk kendaraan mobil. Pada waktu kedatangan saya saja, akses menuju bumi perkemahan tertutup dan hanya bisa dilalui oleh motor saja.

CURUG OMAS


Curug Omas berada di dalam Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Juanda di lokasi wisata Maribaya.  Curug ini memiliki ketinggian terjunan air sekitar 30 meter dengan kedalaman 10 m yang berada di aliran sungai Cikawari.  Di atas air terjun ini terdapat jembatan yang dapat digunakan untuk melintas dan melihat air terjun dari posisi atas.  Dari atas jembatan ini akan terlihat bentangan dasar sungai yang merupakan pertemuan dua aliran sungai Cikawari dan Cigulun yang nantinya menjadi  daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung Hulu.  Aliran ini mengalir dan berbelok membelah kawasan Tahura tersebut.  Selain Curug Omas di aliran sungai ini terdapat pula Curug Cigulung dan Curug Cikawari yang masing-masing berketinggian sekitar 15 m dan 14 m.
Di kawasan ini juga ada curug lain yaitu Curug Lalay yang lokasinya tak jauh dari Curug Omas.

MARIBAYA - LEMBANG


Maribaya berasal dari nama seorang perempuan sangat cantik yang menjadi sumber kehebohan bagi kaum laki-laki. Saking terpesona oleh kecantikannya, pemuda-pemuda di kampungya sering cekcok sehingga sewaktu-waktu bisa terjadi pertumpahan darah. Itulah gambaran keindahan Maribaya tempo dulu. Karena keindahan dan kenyamanan wilayah itu, lokasi pemandian air hangat itu diabadikan dengan nama Maribaya. Keelokan pemandangan disertai desiran air terjun digambarkan bagai seorang gadis cantik jelita yang membuat setiap pemuda bertekuk lutut. Namun, apakah objek wisata Maribaya saat ini masih seperti dulu yang membuat setiap orang ingin menyambanginya ?

Sejak mulai dikembangkan tahun 1835 oleh Eyang Raksa Dinata, ayah Maribaya, lokasi objek wisata itu berhasil mengubah kehidupan Eyang Raksa Dinata yang sebelumnya hidup miskin menjadi berkecukupan. Banyak orang yang berkunjung ke tempat tersebut. Mereka tidak hanya datang untuk berekreasi menghirup udara segar alam pengunungan dan perbukitan, tetapi banyak juga yang berobat dengan cara berendam di air hangat.

Eyang Raksa Dinata yang sebenarnya hanya ingin menghindari pertumpahan darah di kampungnya, malah mendapat berkah kekayaan setelah mengelola sumber air panas mineral yang dapat dipergunakan untuk pengobatan itu. Keluarga Maribaya memperoleh penghasilan dari para pengunjung yang datang berduyun-duyun.

Maribaya memang merupakan salah satu objek wisata andalan bagi pemda Kabupaten Bandung Barat. Objek wisata ini dulu terkenal dengan pemandaian air panasnya, namun belakangan ini jadi tenggelam setelah objek wisata pemadian air panas Sari Ater - Subang di buka. Lokasi wisata Sari Ater jauh lebih strategis karena berada di jalan raya Bandung-Subang. Pengunjung tak perlu repot-repot sengaja masuk ke jalur wisata dan melewati Pasar Lembang yang semrawut, seperti jika hendak mengunjungi Maribaya.

Selain sebagai tempat wisata pemandian air panas, dilokasi ini juga terdapat air terjun yang cukup besar. Curug Omas, dengan ketinggian kurang lebih 30 meter nampaknya juga menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung kesana. Adanya fasilitas dua jembatan pengamat dari sisi bagian atas dan bawah juga memberikan kemudahan bagi pengunjung untuk bisa lebih leluasa menikmati air terjun tanpa perlu takut menjadi basah.

Pengunjung bisa juga "bermalas-malasan" di areal sekitar air terjun sambil tiduran diatas tikar yang disewakan oleh penjaja cilik. Penjaja cilik itu juga dengan sigap membantu memesankan makanan yang diinginkan pengunung kepada penjual makanan yang berada di sekitar. Udara yang dingin dan pepohonan yang rindang ditambah pula dengan gemuruh suara air terjun dari kejauhan, menjadikan objek wisata ini ramai dikunjungi dihari-hari libur atau akhir pekan.





Disudut lain tampak sekelompok pengunjung  tengah asik memberi makan kepada kera liar yang ada pada lokasi wisata ini. Kera-kera tersebut terkadang cukup berani untuk mendekati pengunjung, mengharapkan lemparan makanan dan saling berebutan dengan kera lainnya. Jerit anak kecil yang berteriak kegirangan melihat polah kera-kera tersebut menambah ramai suasan yang ada. Namun ada pula yang tampak bersembunyi dibalik kaki orang tuanya ketika seekor kera mencoba mendekati.

Secara keseluruhan, dari pengamatan saya, objek wisata Maribaya nampaknya lebih banyak dikunjungi sebagai objek wisata air terjun daripada objek wisata pemandian air panas. Memang masih terdapat pengunjung yang memanfaatkan air panas yang ada di objek wisata ini sebagai salah satu pengobatan alternatif terhadap beberapa jenis penyakit, namun bila dilihat secara sekilas, pengunjung yang datang cenderung lebih menikmati pesona air terjun atau bersantai-santai dibawah rindangnya pepohonan.

sumber : navigasi.net
gambar dari berbagai sumber

Selasa, 02 Agustus 2011

GUNUNG TANGKUBAN PARAHU

Menikmati pemandangan Kawah Ratu dari Gunung Tangkuban Perahu, laksana melihat mangkuk raksasa yang sangat besar dan dalam. Saat cuaca cerah, lekukan tanah pada dinding kawah demikian juga dasar kawah dapat terlihat cukup jelas sehingga mampu menyajikan pemandangan panoramic yang spektakuler. Kemegahan kawah yang begitu luas dan dalam, setidaknya mampu memaksa  pengunjung untuk sejenak terdiam dan takjub akan kebesaran hasil karya Tuhan.


Berada di ketinggian 1860 meter, tepatnya didaerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat - Jawa Barat, objek wisata Tangkuban Perahu memang menjadi salah satu andalan pendapatan daerah setempat. Dengan harga tiket masuk 8000 rupiah perorang dengan rata-rata jumlah pengunjung mencapai 500 orang setidaknya mampu meraup pendapatan sekitar 3 juta rupiah perhari diluar pemasukan dari biaya masuk untuk kendaraan pribadi maupun bis wisata. Belum lagi pendapatan yang diperoleh secara tidak langsung dari transaksi jual beli makanan maupun cindera mata yang ada disekitar lokasi itu, yang tentunya juga ikut menyumbang dalam jumlah yang tidak sedikit bagi kas pendapatan daerah.

OBSERVATORIUM BOSSCHA

Observatorium Bosscha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia. Observatorium Bosscha berlokasi di Lembang, Jawa Barat, sekitar 15 km di bagian utara Kota Bandung dengan koordinat geografis 107° 36' Bujur Timur dan 6° 49' Lintang Selatan. Tempat ini berdiri di atas tanah seluas 6 hektare, dan berada pada ketinggian 1310 meter di atas permukaan laut atau pada ketinggian 630 m dari plato Bandung. Kode observatorium Persatuan Astronomi Internasional untuk observatorium Bosscha adalah 299.

Sejarah

Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Pada rapat pertama NISV, diputuskan akan dibangun sebuah observatorium di Indonesia demi memajukan Ilmu Astronomi di Hindia Belanda. Dan di dalam rapat itulah, Karel Albert Rudolf Bosscha, seorang tuan tanah di perkebunan teh Malabar, bersedia menjadi penyandang dana utama dan berjanji akan memberikan bantuan pembelian teropong bintang. Sebagai penghargaan atas jasa K.A.R. Bosscha dalam pembangunan observatorium ini, maka nama Bosscha diabadikan sebagai nama observatorium ini.

Pembangunan observatorium ini sendiri menghabiskan waktu kurang lebih 5 tahun sejak tahun 1923 sampai dengan tahun 1928. Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan dikarenakan sedang berkecamuknya Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.

Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia.

sumber : disini

SITU CIBURUY

Situ Ciburuy terletak di kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung. Sehari-hari, danau ini menjadi konsumsi penikmat keindahan alam. Maklum, sebuah pulau ditengahnya bagaikan magnet bagi para pelancong. Inilah fenomena unik itu, pada waktu-waktu tertentu sering munculnya kerbau putih bernama si dongkol dan ikan mas raksasa. Selain itu, ikan Situ Ciburuy tak gampang dipancing. Mengapa?

Situ Ciburuy pada mulanya adalah dua buah sungai kecil yang ujungnya bertemu di Desa Ciburuy. Tahun 1918, lokasi pertemuan kedua sungai itu dibendung. Lalu airnya diatur untuk mengairi sawah-sawah desa. Lama kelamaan, bendungan ini airnya makin tinggi dan menggenangi wilayah seluas 14.76 ha. Tapi tanah tertinggi di tengah-tengah danau tidak tergenang, yang kemudian membentuk sebuah pulau mungil. Mayarakat setempat lantas memberinya nama Situ Ciburuy. Situ artinya danau, sedangkan Ciburuy adalah nama Desa.

CURUG MALELA

Tahukah anda bahwa ada air terjun Niagara kecil di Cekungan Bandung? Sudah lama saya penasaran dengan Niagara kecil ini.  Informasinya selain dari omongan beberapa teman, juga banyak ditulis di situs blog pribadi, situs pariwisata, atau situs resmi Perhutani, maupun Pemkab Bandung Barat. Si Niagara kecil yang mengagumkan itu dikenal sebagai Curug Malela (curug = air terjun dalam Bahasa Sunda). Sayang lokasinya jauh di entah berantah Cekungan Bandung! Jadi, jangan ke Curug Malela, jika anda hanya ingin berwisata, kecuali jiwa petualangan anda memanggil-manggil!

Memang situs-situs internet memberitakan keindahan Curug Malela. Sejak tahun 2006, beberapa media memuat pernyataan-pernyataan pejabat pariwisata yang memuji-muji potensi yang luar biasa ini. Kenyataannya, akses jalan yang seharusnya mulus menuju objek yang diunggulkan ini, membuat pengendara frustasi pada kunjungan pertama.